TUJUH PIRING WALISANGA

Januari 27, 2019

TUJUH PIRING WALISANGA

Biasanya, setiap tahun prosesi puncak tersebut digelar di Keraton Kasepuhan, dihadiri ribuan, bahkan puluhan ribu warga. Mereka tak hanya merupakan warga Cirebon, melainkan banyak pula yang datang dari berbagai kota di Jawa Barat, bahkan seluruh Pulau Jawa.
Prosesi biasanya ditandai dengan dikeluarkannya lilin dan barang-barang pusaka keraton peninggalan zaman Sunan Gunung Jati, seperti tombak dan tujuh piring panjang (lodor) peninggalan Walisanga, untuk dipergunakan dalam upacara Panjang Jimat, oleh para abdi dalem keraton.
Selain tujuh piring panjang tersebut, turut dikeluarkan makanan yang nantinya ditaruh di atas tapsi (piring panjang). Benda-benda pusaka berikut tujuh tapsi dan makanannya kemudian dibawa para abdi dalem ke Langgar Agung di Kompleks Keraton Kasepuhan. Di Langgar Agung tersebut, dibacakan Kitab Barzanzi. Kitab Barzanzi sendiri adalah kitab kuno tulisan Syeikh Al Barzanzi, berisikan syair kisah hidup dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.
Usai pembacaan Barzanzi, makanan dibagikan kepada masyarakat yang ikut dalam prosesi panjang jimat tersebut.
Laiknya upacara kebesaran keraton, sebelum upacara dimulai, seorang abdi dalem melaporkan kesiapan upacara panjang jimat kepada Sultan Kasepuhan XIV, PRA Arief Natadiningrat.
Biasanya dalam prosesi itu hadir pejabat daerah dan provinsi. Tahun lalu bahkan hadir puluhan ulama dari Afrika Selatan, selain Kapolda Jabar, Danrem 063/SGJ, Wali Kota Cirebon dan masyarakat berbagai daerah.
Sebenarnya, rangkaian peringatan Muludan (Maulid) kelahiran Nabi SAW yang diperingati Keraton Kasepuhan tersebut cukup panjang, terhitung sejak 15 Safar. Dimulai dengan pembuatan bekasem ikan yang dimasukan ke dalam guci dan dimasak di dapur untuk membuat nasi rasul.
Setelah itu baru prosesi yang melibatkan piring-piring besar. Ada tujuh piring besar, piring tersebut berusia sekitar 700 tahun, dulu digunakan para Walisanga di Cirebon. “Totalnya ada sembilan piring, tetapi yang dikeluarkan panjang jimat ini hanya tujuh tapsi. Piring tersebut dibawa ke Langgar Agung depan Keraton Kasepuhan, dan di sana akan dibacakan Kitab Barzanzi, sebuah kitab berisi sejarah Nabi Muhammad dan dibacakan selawat dan doa,” kata Sulaiman, warga yang menemani saya selama di Cirebon.
f
Setelah dibacakan Kitab Barzanzi, sekitar pukul 24.00 WIB, makanan tersebut dibagikan kepada masyarakat dan juga abdi dalem.
Menurut Sulaiman, syiar Islam yang dilakukan Sunan Gunungjati dalam penyebaran Islam, memang salah satunya dengan mengajak masyarakat berkumpul untuk mendengarkan Kitab Barzanzi.
Pada Panjang Jimat tahu lalu, Sultan Kasepuhan XIV, PRA Arief Natadiningrat mengatakan, esensi upacara panjang jimat bukanlah benda pusaka, tetapi sebuah pusaka yang dipelihara


secara terus-menerus oleh masyarakat, yaitu syahadat. Masyarakat tak boleh lepas dari dua kalimat syahadat, dari lahir sampai ajal menjemput.
“Kita harapkan panjang jimat ini bisa mengenang sosok Rosulullah, terutama suri teladan Nabi Muhammad. Salah satu suri teladan Nabi SAW adalah toleransi yang tinggi terhadap agama lain, ini bisa kita contoh oleh semua lapisan masyarakat. Mudah-mudahan upacara ini juga sebagai silaturahmi yang bisa memberikan keberkahan, membuka pintu rizki, panjang umur dan selamat dunia akhirat,” kata Sultan saat itu.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.