TUJUH PIRING WALISANGA
TUJUH PIRING WALISANGA
Biasanya, setiap tahun prosesi
puncak tersebut digelar di Keraton Kasepuhan, dihadiri ribuan, bahkan puluhan
ribu warga. Mereka tak hanya merupakan warga Cirebon, melainkan banyak pula
yang datang dari berbagai kota di Jawa Barat, bahkan seluruh Pulau Jawa.
Prosesi biasanya ditandai dengan
dikeluarkannya lilin dan barang-barang pusaka keraton peninggalan zaman Sunan Gunung
Jati, seperti tombak dan tujuh piring panjang (lodor) peninggalan Walisanga,
untuk dipergunakan dalam upacara Panjang Jimat, oleh para abdi dalem keraton.
Selain tujuh piring panjang
tersebut, turut dikeluarkan makanan yang nantinya ditaruh di atas tapsi (piring
panjang). Benda-benda pusaka berikut tujuh tapsi dan makanannya kemudian dibawa
para abdi dalem ke Langgar Agung di Kompleks Keraton Kasepuhan. Di Langgar
Agung tersebut, dibacakan Kitab Barzanzi. Kitab Barzanzi sendiri adalah kitab
kuno tulisan Syeikh Al Barzanzi, berisikan syair kisah hidup dan penghormatan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Usai pembacaan Barzanzi, makanan
dibagikan kepada masyarakat yang ikut dalam prosesi panjang jimat tersebut.
Laiknya upacara kebesaran keraton,
sebelum upacara dimulai, seorang abdi dalem melaporkan kesiapan upacara panjang
jimat kepada Sultan Kasepuhan XIV, PRA Arief Natadiningrat.
Biasanya dalam prosesi itu hadir
pejabat daerah dan provinsi. Tahun lalu bahkan hadir puluhan ulama dari Afrika
Selatan, selain Kapolda Jabar, Danrem 063/SGJ, Wali Kota Cirebon dan masyarakat
berbagai daerah.
Sebenarnya, rangkaian peringatan
Muludan (Maulid) kelahiran Nabi SAW yang diperingati Keraton Kasepuhan tersebut
cukup panjang, terhitung sejak 15 Safar. Dimulai dengan pembuatan bekasem ikan
yang dimasukan ke dalam guci dan dimasak di dapur untuk membuat nasi rasul.
Setelah itu baru prosesi yang melibatkan piring-piring
besar. Ada tujuh piring besar, piring tersebut berusia sekitar 700 tahun, dulu
digunakan para Walisanga di Cirebon. “Totalnya ada sembilan piring, tetapi yang
dikeluarkan panjang jimat ini hanya tujuh tapsi. Piring tersebut dibawa ke
Langgar Agung depan Keraton Kasepuhan, dan di sana akan dibacakan Kitab
Barzanzi, sebuah kitab berisi sejarah Nabi Muhammad dan dibacakan selawat dan
doa,” kata Sulaiman, warga yang menemani saya selama di Cirebon.
f
Setelah dibacakan Kitab Barzanzi,
sekitar pukul 24.00 WIB, makanan tersebut dibagikan kepada masyarakat dan juga
abdi dalem.
Menurut Sulaiman, syiar Islam yang
dilakukan Sunan Gunungjati dalam penyebaran Islam, memang salah satunya dengan
mengajak masyarakat berkumpul untuk mendengarkan Kitab Barzanzi.
Pada Panjang Jimat tahu lalu, Sultan Kasepuhan XIV, PRA
Arief Natadiningrat mengatakan, esensi upacara panjang jimat bukanlah benda
pusaka, tetapi sebuah pusaka yang dipelihara
secara terus-menerus oleh
masyarakat, yaitu syahadat. Masyarakat tak boleh lepas dari dua kalimat
syahadat, dari lahir sampai ajal menjemput.
“Kita harapkan panjang jimat ini bisa mengenang sosok Rosulullah,
terutama suri teladan Nabi Muhammad. Salah satu suri teladan Nabi SAW adalah
toleransi yang tinggi terhadap agama lain, ini bisa kita contoh oleh semua
lapisan masyarakat. Mudah-mudahan upacara ini juga sebagai silaturahmi yang
bisa memberikan keberkahan, membuka pintu rizki, panjang umur dan selamat dunia
akhirat,” kata Sultan saat itu.
Tidak ada komentar: